BEHIND THE SCENES


 

MENCARI IDE


Dimulai sedari bulan Oktober 2019, saya mengalami masalah dengan mood. Kondisi ini memuncak pada bulan Januari 2020. Mulai bulan Februari saya mulai kehilangan kesenangan pada hal-hal yang wajarnya sangat saya suka. Misalnya film. Saya tak begitu berselera menontonnya. Naluri saya mengatakan, jika film saja sudah tak menarik lagi, maka tak akan ada lagi hal lain yang bisa membangkitkan semangat saya. Sebelum ada himbauan karantina pun saya sudah mengurung diri berbulan-bulan. Sekuat hati saya paksakan tersenyum pada orang.


Kadang ada anak komunitas mampir, sedikit ngobrol ingin tahu saya lagi garap apa. Saya bilang, gak ada. Hari-hari saya isi dengan tidur dan latihan kanuragan. Tapi toh saya tetap gembrot karena banyak makan dan ngemil. Ketika ditanya apa saya mau bikin film lagi, saya bilang padanya: " “Mbok kamu produserin aku. Tentu dia bingung karena nggak punya duit. Saya bilang, "Sak nduwemu piro?" Bahkan kalo cuma ada 100 ribu aja saya mau jalan. Entah film macam apa itu nantinya.”


Tiba-tiba saja, mulai ada keinginan bikin film lagi. Saya merindukan masa-masa syuting. Tahun kami, sebelum pandemi dan sebelum depresi, kami bikin film yang seru. Kemudian saya merasa... Saya harus bikin film apapun agar semangat saya kembali pulih. Tapi film apa?


Pencarian ide dilakukan berdasarkan beberapa kriteria produksi sesuai kondisi yang selalu tim saya alami.


Produksi maksimal 3 hari (terlalu banyak hari akan susah mengendalikan komitmen tim)

Budget maksimal 500 ribu (masa pandemi susah cari uang, di mana pula nyarinya?)

Kru maksimal 5 orang (kebanyakan kru saya sudah tinggal di luar kota)

Genre yang dipilih harus berdasar kriteria sesuai preferensi saya selaku produser:

Monster movie durasi 5 - 10 menit (genre yang selalu ingin saya bikin)

Harus bikin banyak orang suka (ini terlalu mengada-ada, saya tak bakat menyenangkan orang banyak)

Membawa pesan relevan (tema pilihan: isu kesehatan mental dan internet)


Lalu hasil temuan ide:


Dopamin dalam mie (karena saat depresi saya banyak makan mie instan)

Tone film dark comedy (karena saya tak bisa bikin film yang di luar suasana hati)

Genre ganti laga (kembali ke genre asal, lagipula bikin film monster tak ada dana cukup)


Dari sini maka saya bisa mulai Menyusun kisah yang utuh beserta merancang konsepnya. Jadinya seperti ini:


Dopaminus, seorang gadis pengidap kecemasan yang tinggal di sarkofagus terbang mendapat job mengantar barang ke Endorfinus, alien yang tinggal di planet mini. Di sana Dopaminus dibayang-bayangi oleh Rampokanus, anggota sekte berhaluan garis keras. Dopaminus menghajar mereka dalam pertarungan pedang. Sementara itu Dopaminus mencari jalan untuk meredakan kecemasannya.

Tanpa sadar sebenarnya saya memproyeksikan kondisi psikologis saya lewat karakter dan cerita film ini. Coba aja kita kulik sedikit. Karakter Dopaminus merepresentasikan neurotransmitter sesuai namanya, Dopamin. Neurotransmitter fungsinya menghantar pesan. Pas sama pekerjaan Dopaminus, dia merupakan kurir pengantar paket. 


Paket belum tentu sampai dengan lancer. Ada saja halangan. Jika dalam psikologi ada gangguan (disorder) yang mengganggu fungsi biologis dalam saraf dan hormon, maka di film Anxietus Domicupus direpresentasikan pada karakter Rampokanus. Rampokanus membegal Dopaminus yang hendak mengantar paket. 


Meski banyak karakter saya namai sesuai istilah neurosains, nggak usah ketat banget menghubungkan detailnya. Ini cuma film pelipur lara batin. This is a seriously not too serious short movie. Selain itu juga sebuah tribute receh untuk Pink Floyd, Spaghetti Western, Star Wars, film Tampopo, film Cowboy Bebop dengan bumbu sedikit ludruk. Selama depresi saa banyak denger Pink Floyd dan juga nonton film-film bergenre tadi itu.


MENCARI PEMAIN


Saat ini komunitas film kami makin paceklik bakat. Kualitas anggota baru komunitas rata-rata menurun, kolaborator makin susah karena jarak dan kondisi baru mereka. Kolaborator lama ada yang pindah kota, menikah, berkembangbiak dan lain-lain sehingga agak susah mengikuti jadwal produksi. Pra produksi kami mulai akhir bulan Agustus 2020.


Kami dapatkan Angel Anjani, salah satu anggota baru, masih muda sekali baru kelas dua SMA. Dia tak nampak ada bakat aksi laga. Maka kami latih dia dalam waktu yang sangat singkat bahkan untuk aktor profesional, 6 hari! Saya hanya mengandalkan pengalaman dan sistem pelatihan yang saya ciptakan. Oh iya, selama masa mengurung diri saya menulis buku beladiri setebal 280an halaman agar otak tidak semakin depresif. Sebagian materi di dalamnya saya pakai untuk melatih koreografi film. Angel akan memerankan karakter utama, Dopaminus.


Pemain lainnya, Novan Coklat udah langganan saya sejak 2010. Coklat baru menikah jadi udah lumayan sulit untuk mencari waktunya secara full. Paundra murid saya yang baru, langsung rekrut. Dia mahasiswa baru belum sibuk-sibuk amat. Produser eksekutif utamanya adalah Putera Arrahma, karena saya punya hutang beberapa ratus ribu rupiah yang belum lunas maka hutang itu dialokasikan ke biaya produksi. Ini sama aja dengan gali lubang tutup lubang sih. Mindain hutang.


Putera baru lulus dan lagi nyari kerjaan. Ya udah saya todong jadi produser eksekutif ngerangkap kameramen. Urusan bayaran lagi-lagi saya terapkan gali lubang tutup lubang dan untung dia setuju. Karena bikin VFX pedang sinar akan makan waktu, kami serahkan pada orang lain yakni Alif Ahmada. Alif temannya Putera, suka edit-edit video dan robotika. Dia satu-satunya tim yang nggak pernah ketemu saya selama rangkaian produksi.


Apakah duit di kantong cukup untuk ini semua? Ndilalah kok ada garapan yang kembali ngisi rekening. Alhamdulillah meskipun masih kurang kalo buat bikin film. Jadi kekurangannya gimana? Ya itu tadi… saya nodong anak-anak agar ikut membiayai.


Tim kami total hanya 6 orang dan rencana syuting cuma punya waktu 3 hari. Budget membengkak, awalnya cuma 500an ribu belakangan dihitung film ini butuh setidaknya 5 jutaan. Ya udah hutang lagi... (sialan). Duit yang semula mau saya pakai mendanai film udah saya kerikiti secuil demi secuil untuk...beli cemilan. Saya beli cemilan macam Chitato atau wafer coklat, juga es krim nyaris tiap hari. Gila...Yah tapi demi kewarasan mental.


Sekarang dengan semakin mepetnya budget, kami peras lagi perencanaan pengeluaran biar makin irit. Lumayan... butuh 2 jutaan. 


MASA PRODUKSI


Bulan September 2020 produksi dimulai. Kami syuting di lingkungan sekitar, nggak pakai ijin karena toh receh sekali production valuenya. Sampai hari H ada satu peran yang belum fix dan terpaksa saya gantikan yakni karakter Endorfinus. Saya pakai kostum dari kelambu dan sarung bantal. Di post pro tampak memalukan, maka saya hapus semua frame berisi gambar saya. Saya ganti dengan puppet effect boneka gurita karet dalam robot kaleng. Tak ada waktu bikin animasi yang halus maka saya animasikan apa adanya.


Adegan laga, meski belum sempurna karena latihan cuma 6 hari, berjalan cukup lancar kecuali celana stuntfighter robek karena dipakai salto. Syuting berjalan sangat efektif dan ditonton anak-anak yang pulang mengaji dari langgar. Tetangga kami heran melihat ada orang pake kostum silat antah berantah. Produksi ini kadang saya rasa terlalu cepat sampai tak ada waktu buat merindukan suasana syuting.


POST PRODUKSI


Masih di bulan September 2020 post produksi dijalankan. Saat semua sudah bisa santai, saya sibuk di laptop siang malam. Kebetulan semua kerjaan saya (ngelatih, ngursusin dll) terhenti selama pandemi jadi saya bisa full time ngerjain film. Saya melakukan rotoscoping sendirian, memperbaiki gambar-gambar yang error dan mengutak-atik secara digital kekurangan yang ada. 


Animasi saya lakukan manual pakai aplikasi gratisan dari Playstore. Bukan aplikasi animasi, melainkan aplikasi ilustrasi digital. Ilustrasi itu nanti saya animasikan pakai software editing, bukan software animasi. Karena waktu yang terbatas, tak mungkin menganimasikan full frame. Jadi saya terapkan teknik dari anime Jepang, dua tiga gambar bisa ngisi beberapa sekuens frame.


Musik saya compose sendiri pakai digital sampling dan rekaman akustik. Kecuali musik penutup, saya ambil komposisi klasik yang saya aransemen ulang. Angel mengisi vokal, saya main musik akustiknya. Semua dilakukan secara remote dari rumah masing-masing.


DISTRIBUSI


Rencana awalnya film ini akan dibarengkan dengan peluncuran buku namun ternyata banyak kendalanya. Buku belum rampung sedangkan filmnya sudah beredar di festival. Pada bulan November 2020, Anxietus Domicupus masuk final di HelloFest ke 14 dan juga menyabet beberapa nominasi di Genflix Film Festival. Saya pribadi nggak berharap menang, karena itu film buat menanggulangi depresi saja, bukan dirancang untuk menang. Tujuan umum saya adalah selain ngobati psikis saya, juga agar film itu ditonton lebih banyak orang setidaknya penikmat film independen. Alhamdulillahnya, dari festival-festival itu biaya produksi balik modal dan saya bisa lunasin hutang. Ini kayak keajaiban.


Namanya film pendek, susah kalau dijual satuan. Sedangkan kalau di Youtube, follower saya sangat tidak signifikan untuk menghasilkan revenue. Maka opsi terdekat adalah tayang di platform khusus yang bersedia memutar film pendek. Karena kami mendapat nominasi di Genflix Film Festival, jadilah film kami diputar di sana secara non-eksklusif.


Ngomongin distribusi ini lumayan berat. Kalo cuma mau filmnya ditonton orang, mungkin platform umum macam Youtube udah cukup. Namun berhubung bikin film ya keluar duit, kami kudu mikir gimana nih film tetap ada duitnya. Ikutan festival, memburu hadiah adalah salah satu cara kuno yang kami lakukan. Ini berat karena saingan pasti banyak. Lagipula dapet duit dari kompetisi, macam bounty hunter, nggak bisa sustainable buat kelangsungan kreatif. Perlu nyari cara yang aman. Embuh gimana caranya. Kami juga sedang mikir.